Hancur hatiku mengetahui dia telah kembali
bersama perempuan itu. Rasa sayang yang selama ini kuberikan seolah semuanya
sia-sia. Nia, gadis yang baru masuk SMA itu menangis sesenggukan di kamarnya.
Ia tak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini. Pengorbanan yang
selalu ia berikan kepada Rio kini terbuang
sia-sia sudah. Namun, ia tak pernah merasa benci kepada Rio, walaupun luka yang
ada di hatinya saat ini adalah penghianatan Rio
kepadanya. Banyak kenangan yang telah ia lalui bersama Rio .
Salah satu yang tidak bisa ia lupakan begitu saja adalah ketika Rio mengajaknya ke suatu tempat yang indah, hanya berdua
dan memakaikan bunga ke telinga Nia.
Berhari-hari Nia berada di dalam
keterpurukannya. Hingga pada suatu hari, rasa sakitnya itu tak terbendung lagi.
Ia menangis di bawah pohon jambu di halaman sekolah ketika melihat Rio berjalan bersama perempuan itu. Betapa pedih yang Nia
rasakan. Air mata hangat mengalir di pipinya yang merona itu. Dan pada saat ia
berada dalam kesendiriannya, seorang laki-laki mengulurkan tisu dan membantu
mengusap air matanya. Ya, dialah Nino. Seorang laki-laki yang baik, ramah, dan
juga pintar. Sesaat aku termenung menatapnya. Ternyata masih ada laki-laki yang
baik di dunia ini. Ia mendengarkan semua ceritaku tentang Rio .
Ia juga membantu untuk menenangkan diriku saat itu. Dia mengusap air mata yang
terus mengalir membasahi pipiku, hingga ia memelukku untuk membuatku tenang.
Tak kusangka, semakin hari aku semakin
dekat dengan Nino. Setiap hari ia memberikan kata-kata yang dapat membuatku
tenang. Nino amat perhatian kepadaku. Sedikit demi sedikit aku mulai
menyukainya dan melupakan sakit yang kuderita karena Rio .
Aku mulai dekat dengan Nino, mulai dari jalan bareng ke kantin, membantuku
dalam mengerjakan tugas sampai mengajakku jalan-jalan keluar untuk sekedar
menghiburku dalam melupakan kesedihanku. Aku amat bahagia bersamanya. Dan pada
suatu hari, kata-kata itu keluar dari mulut Nino. Ia menyayangiku dan tidak
akan membuatku sedih dan sakit seperti yang Rio
perbuat kepadaku. Aku pun merasa mulai menyayanginya.
Aku menerima Nino apa adanya. Hari-hari
yang kujalani kini memang penuh kebahagiaan, namun terkadang bayang-bayang dan
rasa sakit yang Rio berikan kerap kali muncul dalam mimpiku. Aku menangis
setiap kali mengingat itu. Aku bercerita kepada sahabatku, Tito namanya. Dan ia
dapat membuatku sedikit tenang dengan kata-katanya.
Nino amat menyayangiku, aku tahu itu.
Begitu pun aku, aku sangat menyayanginya. Namun, bayang-bayang Rio yang kerap kali muncul membuatku takut. Nino tak
pernah mengetahui hal ini karena aku pun tak ingin ia mengetahuinya. Cukup aku
dan Tito yang tahu.
Sore itu, Nino mengajak Nia berjalan-jalan
ke pantai. Sungguh sial nasib Nia hari itu. Dilihatnya Rio bersama cewek
barunya yang juga berjalan-jalan di sekitar pantai. Ingin rasanya ia
cepat-cepat pergi dari sana .
Ketika kami bertatap muka, Rio memberikan
senyum manisnya kepadaku. Ingin rasanya aku membalas senyumnya. Namun, entah
mengapa aku mulai membenci Rio , segera aku
memalingkan muka darinya. Nino mengejutkanku saat aku termenung memikirkan
kejadian barusan. Ia tersenyum lembut mengusap wajahku. Dengan penuh percaya
diri aku dan Nino berjalan di depan Rio sambil
berkata, “Tau gak, kamu itu orang terjahat yang pernah aku temui di dunia ini
!” teriakku dengan pandangan lurus ke depan. Nino dan Rio
tersentak kaget, mereka tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Aku lantas
mengajak Nino cepat-cepat pulang.
Malam harinya, aku termenung di meja
belajarku. Tak pernah terpikirkan kata-kata tadi sore itu akan terlontar dari
mulutku. Aku sendiri juga tak menyadarinya. Lamunanku terhenti ketika kudengar
ada pesan masuk di HP ku. “Tidur Niaku sayang, udah malem.” “Iyaa.” Balasku
singkat dari pesan Nino tadi. Aku mematikan lampu kamar dan segera tidur.
Esok harinya ketika pulang sekolah, tak
biasanya kulihat Rio berjalan kaki. “Kemana
mobil mewah yang selalu menjemputnya itu?”, pikirku dalam hati. Dan saat Rio menyebrang jalan, kulihat mobil bergerak kencang dari
arah kanan. Aku terkejut. Segera kudorong tubuh Rio
ke tepi jalan. Namun naas bagiku, aku yang tertabrak oleh mobil itu. Aku
langsung tak sadarkan diri.
Begitu aku bangun, kudengar seseorang
memanggil namaku. “ Nia, bangun.“ Aku tahu persis suara itu. Suara yang sudah
lama tak kudengar, suara yang dulu selalu membuatku bahagia. “Nia.” ulangnya
lagi. Sekarang aku benar-benar sadar. Benar, itu suara Rio .
“ Nia, maaf ya, karena aku kamu jadi begini.” Kulihat bulir-bulir air mata
mulai keluar dari matanya, mata yang gagah dan berani. Aku merasa ada yang aneh
pada diriku, kakiku tidak bisa digerakkan lagi. “Kakiku, kenapa dengan kakiku??
Kenapa gak bisa bergerak?? Kenapaa ??!” Aku menjerit histeris setelah
mengetahui kakiku lumpuh dan juga terluka parah akibat benturan yang sangat
keras. Aku harus menerima sebuah kenyataan pahit lagi, akibat luka yang cukup
parah dan benturan itu, aku harus mengamputasi kakiku. Aku semakin terpukul
oleh kejadian ini. Tak pernah kusangka aku akan kehilangan kaki kananku.
Tangisku langsung meledak saat itu juga. Aku terpukul, sangat terpukul.
Keesokan harinya jadwal operasiku akan
berjalan. Aku mencoba tabah menghadapi semua ini. Dengan tenaga yang seadanya,
aku berusaha untuk mengucapkan sesuatu kepada Rio. “Rio, aku masih
menyayangimu, sangat menyayangimu. Tak dapat kupungkiri bahwa kau pernah
menjadi bagian dari hidupku. Dan sampai aku bekata demikian pun, kamu masih
tetap jadi bagian dari hidupku.” Nia berkata sambil tersenyum lembut. Ia juga
meminta maaf kepada Nino dan Nino pun merelakan semuanya.
Satu jam, dua jam, operasi Nia tak kunjung
selesai. Orang tua Nia mulai khawatir, begitu juga dengan Nino dan Rio. Saat
itu juga lampu kamar operasi mati. Dokter keluar dengan keringat yang
bercucuran di sekujur tubuhnya. “Bagaimana Dok ?” Tanya Papa Nia cemas. “ Maaf
Pak, tapi kami sudah melakukan yang terbaik, kondisi anak bapak tiba-tiba drop
saat melakukan operasi ini.” Tangis semua yang ada di sana langsung mengucur
deras. Mereka kehilangan Nia, sosok gadis remaja yang ramah, sopan dan juga
periang. Tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya tangis
yang menemani mereka malam itu.
Penguburan Nia pun berlangsung. Semua
teman-teman sekolah Nia menangisi kepergiannya. Rio terus memeluk batu nisan
Nia. Tangisnya masih terus mengalir. Ia merasa ini semua terjadi karena
kesalahannya. Di pusara Nia, ia berdoa dan berkata, “Nia, sampai kapanpun kamu
tetap bidadari hatiku, berbahagialah kau di sana.” Kata Rio sambil terus
menangis. Mungkin Nia di sana juga akan berkata, “Rio, aku juga sangat
menyayangimu, akan terus kupendam rasa ini dan akan menjadi rasa yang abadi.”
***
0 komentar:
Posting Komentar