Gadis
itu manis, putih dengan lesung pipit di pipinya. Embun. Aku suka memanggilnya
dengan nama Embun. Titik-titik air yang jatuh dari langit pada malam hari di
atas rerumputan hijau itu yang membuatku damai, sedamai hatiku jika bersamanya.
Nama sebenarnya Chika, tapi entah mengapa aku lebih suka memanggilnya dengan
sebutan itu, ia juga tak pernah marah jika kupanggil demikian.
Sore
itu aku melihatnya duduk sendirian di pinggir taman, aku lalu menghampirinya
dan kami duduk bersama. “Embun, kenapa sendirian di sini?” tanyaku memulai
pembicaraan. “Aku hanya ingin bersantai dengan suasana sore yang cerah ini.
Kamu kenapa bisa di sini?” Embun balik bertanya. “Ah tidak apa-apa. Aku memang
suka berjalan-jalan di sekitar taman ini.”jawab Rei. “Oh begitu.”jawabnya
singkat. Sejenak kulihat wajahnya yang indah itu tak secerah biasanya, ada apa
dengannya? Rasa ingi tahuku muncul, tak biasanya ia seperti ini. Namun, ia
akhirnya berpamitan denganku dan beranjak pergi. Aku melihatnya sampai ia hilang
di tikungan, kini tinggal aku sendiri duduk ditemani oleh angin semilir yang
membelaiku.
Embun,
gadis itu begitu periang, mengapa beberapa hari ini wajahnya tampak begitu
murung? Aku tak tahu, aku sahabat Embun tapi ia tak pernah mau bercerita
mengapa akhir-akhir ini dia bersikap seperti itu. Pagi itu seperti biasa aku
selalu ke kelasnya, membawakan sekotak susu strawberry dengan lollipop
kesukaannya. Ia menyambutku dengan gembira, aku sangat senang melihatnya.
“Embun,
apakah kau suka aku bersikap seperti ini? Tapi mengapa akhir-akhir ini kau
bersikap aneh? Ada yang salah denganku?” Tanyaku dengan sangat hati-hati. Embun
menunduk, lama baginya untuk menjawab pertanyaanku, aku takut kalau-kalau
pertanyaanku menyakiti hatinya.
“Tidak
apa-apa Rei, kamu mau tahu sesuatu? Aku tak bisa merahasiakannya sendiri, kamu
juga sahabatku.” Jawab Embun perlahan.
“Ada
apa?” tanyaku lagi.
“Dua
minggu lalu aku memeriksakan diri ke dokter karena sudah lama aku mengalami
mimisan secara terus-terusan. Aku merasa sehat-sehat saja, tapi entah kenapa
aku sering mimisan. Kata Dokter, aku menderita penyakit leukemia.” Jawab Embun
sembari menangis.
Aku
tak tahu harus berkata apa lagi, hatiku seperti dihujam ribuan tombak ketika
mendengar jawaban Embun. Aku hanya bisa memeluknya, memeluknya dengan segenap
perasaan sayangku. Tanpa sadar air mataku menetes, Embun, sosok yang periang
dan baik hati seperti itu mengapa harus mengalami penyakit seperti itu. Apakah
ini adil Tuhan? Kuusap air mataku dan kuusap air mata Embun, aku hanya bisa
memberinya semangat untuk tetap hidup. Embun yang dulu harus kembali lagi
meskipun keadaan sudah merubah semuanya. Embun sangat pesimis akan hidupnya,
aku juga pesimis karena yang kutahu penyakit leukemia tak ada obatnya. Obat
yang diberikan hanya untuk mencegah penyakitnya menjadi-jadi, tak akan
memperpanjang usia Embun. Diam-diam aku merasakan ketakutan yang luar biasa,
aku takut kehilangan Embun di kemudian hari.
Dua
minggu sudah aku tak melihat wajah Embun yang periang itu, senyum manis dengan
lesung pipitnya itu tak kutemui lagi. Aku dengar Embun masuk rumah sakit, ia
harus dirawat untuk beberapa hari karena penyakitnya itu. Sepulang sekolah aku
menjenguknya ke rumah sakit. Aku melihatnya terbaring lemas tak berdaya.
Sungguh, teramat sakit bagiku melihat keadaannya. Ia tersenyum kepadaku, aku
membalas senyumnya.
“Rei,
makasi ya udah mau datang menjengukku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Semakin hari aku semakin lemah. Dokter juga mungkin sudah pesimis akan
keadaanku.” Kata Embun tiba-tiba.
Aku
merasa sedih, teramat sedih. Melihat perubahan fisik pada diri Embun juga
membuat hatiku seperti teriris-iris. Aku mendekatinya lalu memeluknya.
“Rei,
aku ingin menjadi embun seperti nama yang sering kau panggil kepadaku. Embun
yang bening dan menyimpan sejuta kesucian. Bagaimana menurutmu?” Tanya Embun.
“Aku
juga menyukai Embun. Sangat menyukainya.” Jawabku. Aku tak pernah bilang
apa-apa kepadanya tentang perasaanku. Saat ini aku hanya ingin menjadi sahabat
yang terbaik baginya.
Jam
sudah menunjukkan pukul tiga sore, Embun tertidur lelap dan aku pulang ke
rumah.
Beberapa
bulan kemudian aku menerima sepucuk surat berwarna hijau di meja belajarku. Aku
tak pernah tahu kalau ada surat di sana. Kubuka surat itu perlahan dan ternyata
dari Embun. Aku menangis membacanya. Mengapa selama ini ia pergi diam-diam
hanya untuk menjauhiku? Ia tak ingin mengucapkan selamat tinggal kepadaku agar
ia tak menyakiti peasaanku nantinya.
“Embun, kamu tau, pertama aku kenal kamu,
kamu telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kamu akan
tetap menjadi Embun yang selalu buatku tersenyum.”
Kini ketika aku berjalan pada sore hari di taman
itu, tak pernah kulihat lagi Embun duduk di sana. Taman yang penuh kenangan ini
tak pernah mati, seperti Embun yang takkan pernah mati.
0 komentar:
Posting Komentar