Ketika sang surya mulai merangkak
naik dan panasnya merongrong kulit, di sanalah aku. Duduk dalam suatu tempat,
bersenda gurau dengan teman-temanku. Seusai
pulang sekolah, aku sibuk dengan berbagai tugas dan kegiatanku. Sungguh,
aku sangat tidak menyukai rumah! Bagiku rumah hanyalah tempat tinggal yang di
dalamnya terdapat banyak orang egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Mengapa
orang-orang selalu menyukai rumah dan selalu mengatakan “home sweet home”?
“home hell home”! Aku mulai melihat
jadwal les-ku hari ini. Tidak ada les. Berarti aku bebas tidur seharian sampai
sore nanti. Atau mungkin keluar dengan teman-temanku dan berkunjung ke suatu
tempat.
Seusai ganti baju aku berjalan ke
kamar ibuku. Wanita yang menyimpan banyak beban di pundaknya. Menyimpan
berbagai kesedihan di wajahnya. Wanita
yang selalu berjuang untuk anak-anaknya.
Ibu. Aku menyebutnya Ibu. Wanita
itu terlalu banyak memikul beban yang tidak seharusnya ia tanggung. Wajahnya
tampak lebih tua dari umurnya sekarang. Aku menatapnya, menemukan sosok wanita
yang selalu sayang kepada anak-anaknya.
“Udah pulang?”
“Udah Bu.”
“Udah makan belum?”
Ah. Aku selalu suka kata-kata ini. Ibu selalu memerhatikan aku lebih dari
siapapun.
“Udah.”
Ibu. Aku menatapnya sekali lagi.
Tulus. Aku mulai memperhatikan wajahnya. Kerutan disana-sini. Wajahnya kusam,
tak secerah dulu. Matanya sendu, tak sebercahaya dulu.
“Kalau Ibu nyari kerja di Mataram aja, Diah gak apa kan
tinggal di sini? Sama bapak.”
Aku diam. Entah karena dasar apa
Ibu mengatakan kalimat itu. Mataku mulai memanas. Aku mulai merasakan bulir-bulir
air mata akan jatuh mengalir dari kedua mataku. Kutidurkan tubuhku di tempat
tidur Ibu. Berusaha menyembunyikan air mata yang sebentar lagi akan mengalir.
“Ibu nyari kerja di Mataram supaya gak keganggu sama
acara-acara di sini. Kalau di Mataram Ibu bisa bebas nyari uang, buat Diah buat
Adit.”
“Tapi nanti Ibu diomong-omongin sama orang-orang di sini.”
“Gak apa. yang penting Ibu bisa nyari uang buat anak-anak
Ibu. Terserah orang lain mau ngomong apa.”
“Tapi nanti Diah sendirian. Diah gak suka tinggal di sini.
Gak enak.”
“Ibu juga gak suka. Ibu
ninggalin anak-anaknya Ibu bukan karena Ibu mau nyari uang buat diri Ibu
sendiri, justru karena Ibu sayang sama anak-anaknya Ibu. Supaya Ibu bisa beliin
apa yang anak-anaknya Ibu pengen.”
“Terus Diah sama siapa?”
“Kan ada Bapak. Nanti ibu buatin Diah tabungan, buat Ibu
kirimin uang tiap bulan.”
Aku terdiam, menangis tanpa
suara. Ibu memalingkan wajahnya kepadaku. Aku tahu dia menatapku. Aku takut
menatapnya balik. Terlalu menyedihkan.
“Diah, kan baru rencana. Kalau Ibu udah bisa kerja bebas di
sana, Diah mau ikut sama Ibu?”
“Mau.” Dengan polos aku mengatakannya.
Aku melihat Ibuku mengusap
matanya. Entah apakah ia ikut menangis juga. Aku melihat wajah wanita itu.
Banyak kesedihan yang ia sembunyikan selama ini. Banyak penderitaan yang ia
jalani selama ini.
“Diah, Ibu kerja buat
anak-anak Ibu. Karna Ibu sayang. Ibu pengen anak-anaknya Ibu seneng.”
“Iya.”
Dan percakapan siang itu terhenti.
Makanan siang itu terasa hambar, sehambar perasaanku memikirkan percakapan
singkat siang itu. Aku masih menangis. Berusaha menyembunyikan air mata yang
terus berjatuhan. Menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Ibu. Wanita itu
terlalu kuat menjalani hidupnya. Terlalu kuat untuk menopang beban-beban di
pundaknya. Maaf Bu, aku terlalu rapuh…
0 komentar:
Posting Komentar