-Dan pertemuan singkat tak pernah terasa sederhana bagi
mereka yang terpisah oleh jarak-
Jarak terlalu egois! Aku rindu
kamu. Aku kangen kamu. Jarak terlalu egois memisahkan kita! Begitulah kira-kira
kata hati Nadia saat ini. Ketika ia dihadapkan oleh berbagai sesuatu yang
dipisahkan oleh jarak, apa ia masih harus berjuang atau memilih berhenti?
**
Nadia menghempaskan tubuhnya di
sofa. Panas matahari yang merongrong di luar menyebabkan keringatnya terus
bercucuran. Sambil meminum segelas jus jeruk siang itu, Nadia melihat-lihat
tanggal di kalender. Sudah 4 bulan. Iya, sudah 4 bulan semenjak kepergian Rino.
Air mata Nadia mulai menyembul kembali dari pelupuk matanya. Rino. Nama itu
mungkin tak akan pernah pudar di hati Nadia. Orang yang selalu menemaninya,
penyebab tangis dan tawanya kini telah hilang. Ini bulan ke-empat semenjak
kematian Rino. Tanggal 27 pasti akan selalu menjadi tanggal yang tidak akan
pernah luput dari ingatannya. Nadia selalu menyesali perbuatannya dulu,
memaki-maki Rino sehari sebelum ia pergi, bahkan Nadia pun tak sempat melihat
jenazah Rino.
“Aku kangen kamu, Rin. Maafin
aku.”
Nadia tak pernah mengerti,
mengapa perpisahan selalu menimbulkan jarak yang sangat jauh untuk seseorang.
Nadia menghela nafasnya, ia lelah sekali. Lalu ditidurkannya tubuhnya di sofa
siang itu.
**
Nadia berjalan-jalan di taman
yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Menimbulkan warna-warna yang sangat
menyegarkan mata. Di sudut taman ia melihat seseorang, mengenakan kemeja
abu-abu dengan skinny jeans berwarna
gelap. Menangis terduduk di sudut taman. Siapa dia?
Nadia berjalan mengendap-endap. Memerhatikan
orang itu lebih dekat lagi. Semakin dekat dan semakin dekat. Orang itu merasa
ada yang memerhatikannya, dengan cepat ia pun menoleh. Nadia menutup mulutnya
dengan terkaget-kaget. Rino?!
“Ah sial mimpi lagi!”
Nadia tak pernah suka bermimpi
seperti itu, seolah-olah Rino masih hidup! Terlihat sangat nyata dan dekat.
Memang, sudah beberapa hari ini Nadia memimpikan Rino lagi. Memimpikan bahwa
Rino masih ada di sampingnya dan belum pergi untuk selamanya. Tapi, itu
mustahil!
Sore itu Nadia ingin pergi ke
suatu tempat yang baru. Yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dengan sigap
sopirnya pun siap mengantarnya kemanapun ia mau. Nadia selalu senang dengan
kesetiaan sopirnya yang selalu mau mengantarnya ke tempat yang ia sukai.
“Pak Didik, bisa antar Nadia ke
tempat baru? Kira-kira kemana ya? Nadia pengen suasana yang beda.”
“Eemm, kemana ya, Non? Kalo ke
tempat penampungan anak-anak jalanan mau? Ya, Cuma saran sih. Kan suasana
beda.”
“Boleh! Yuk pak anterian Nadia
kesana! Kira-kira di sana ada apa aja ya, Pak? Ada anak-anak jalanan yang lagi
ngapain emang? Kita harus bawa apa?” tanya Nadia bersemangat.
Pak Didik tersenyum. Lelaki tua
itu tak pernah mengeluh akan permintaan majikannya. Ia sudah mengantar Nadia
kesana-kemari dari kecil sampai sebesar
ini, tentu saja Pak Didik sudah menganggap Nadia sebagai anak sendiri. Lagipula
ia tahu bagaimana perasaan seorang anak yang terlalu sering ditinggal ke luar
kota oleh orang tuanya.
“Wah, Non Nadia semangat banget
nih! Sebelum kesana kita mampir ke swalayan dulu ya. Beli makanan buat mereka.
Non Nadia ada baju bekas? Sumbangin aja ke mereka, mungkin bakal lebih berarti
daripada didiemin percuma.”
“Kalo baju bekas Nadia mah punya
banyak di gudang. Nadia ambil dulu ya, Pak!”
Nadia berlari kecil memasuki
rumah, meninggalkan Pak Didik yang masih diam mematung sambil menyunggingkan
senyum simpul.
**
Sekarung baju bekas dan sekardus
makanan sudah ada di tangan Nadia. Dengan dibantu Pak Didik yang juga
tergopoh-gopoh ia membawa karung dan kardus tersebut, Nadia berhasil juga
membawa “oleh-oleh” itu dengan selamat. Lokasi penampungan anak-anak jalanan
itu memang agak jauh dari tempat Nadia memarkirkan mobilnya. Maklum, lokasinya
memang agak sulit dijangkau.
“Maaf ya, Non. Tempatnya banyak
sampah begini.”
“Ah, enggak apa-apa kok, Pak.
Nadia senang bisa bantu-bantu anak jalanan di sini.”
“Rumah” anak-anak jalanan itu
sudah mulai terlihat. Beberapa dari mereka sudah mulai mengerumuni Nadia. Nadia
terlihat senang sambil sesekali bercakap-cakap dengan anak-anak jalanan itu. Ia
pun mulai membagi-bagikan baju yang ia punya. Ada yang bersorak kegirangan, ada
yang langsung memeluk Nadia, bahkan ada yang langsung memakai baju itu dan
memamerkannya ke seluruh sudut di tempat itu. Kegembiraan jelas terpancar dari
raut muka anak-anak jalanan itu. Bagi Nadia, itu merupakan kebahagiaan
tersendiri baginya. Melihat anak-anak jalanan bersorak kegirangan akibat baju
dan berbagai makanan yang ia berikan.
Diantara ramainya anak-anak
jalanan, ada sekelebat sosok bayangan yang muncul. Jauh diantara
tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung. Nadia merasa ingin tahu. Diikutinya
orang itu. Sosok itu sibuk dengan kegiatannya, mengurusi segala keperluan yang
dibutuhkan oleh anak-anak jalanan. Nadia terus memerhatikannya, siapa dia
sebenarnya? Ia merasa harus mengetahui siapa identitas asli pemilik sosok itu.
Nadia terus mengikuti orang itu
hingga pada sebuah empang yang tak jauh dari “rumah” anak-anak jalanan.
Lama-kelamaan orang itu merasa ada yang mengikutinya tapi ia tak
menghiraukannya. Sosok itu membalikkan badannya. Mata Nadia dan laki-laki itu
bertemu. Mereka terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Dan tiba-tiba air
mata Nadia mulai menampakkan diri di pelupuk matanya.
“Rino…”
0 komentar:
Posting Komentar