Selasa, 22 Januari 2013

Neptunus-Saturnus...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.48 0 komentar
Aku sebuah Saturnus, yang ingin selalu dekat dengan Neptunus. Karna dia planetku, yang selalu berdampingan saatku mengorbit. 
Aku ingin menjadi Saturnus, yang selalu bisa bersebelahan dengan Neptunus. Karna dia gravitasiku, yang mengikatku untuk tak bisa lagi berpaling lagi.
Aku pernah menjadi Saturnus, yang selalu dihempaskan Neptunus. Karna dia begitu indah, karna dia bisa melakukan apapun yang dia mau.
Tapi kamu Neptunus, yang selalu ada di sampingku saat aku mengorbit. Yang selalu ada di sampingku saat aku bersinar. Yang selalu ada di sampingku saat hujan meteor melubangi atmosferku.
Tapi kamu Neptunus, yang selalu menganggap bahwa aku tak pernah ada. Yang selalu menjauhi aku saat aku terlalu lelah mengorbit. Yang selalu melukai hatiku saat aku sudah terlalu -sangat terlalu- lelah untuk mengorbit.
Aku cuma Saturnus. Yang terlalu terpaku pada daya tarikmu. Yang terlalu terjerat pada gravitasimu. Sampai aku tak mampu mengatasi sudah berapa banyak lubang yang tercipta pada atmosfer hatiku. 
Kenyatannya aku cuma Saturnus, yang hanya bisa diam ketika kamu pergi, ketika Uranus mengalihkan duniamu, bahkan aku tak pernah berarti apa-apa lagi di matamu. 
Kenyataannya aku cuma Saturnus, yang hanya bisa diam, ketika aku terhalang oleh keindahan Uranus yang selalu mendapatkan sinarmu.
Kamu Neptunus, aku Saturnus. Tapi Uranus? Haruskah dia menghalangi kita? Ya. Karna Uranus selalu bisa lebih dekat denganmu. Karna Uranus lebih berarti dari apapun dibandingkan aku. Karna Uranus lebih memiliki banyak persamaan denganmu dibanding aku. 
Karna aku cuma Saturnus. Saturnus yang sudah terlalu lelah mengorbit terlalu jauh lagi, terlalu lelah mengorbit untuk mendapatkan perhatianmu...




Memaafkan...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.17 0 komentar
Maaf. Kata yang selalu pertama kali diucapkan seseoramg ketika berbuat salah. Jika memaafkan semudah yang diucapkan, bisakah maaf yang kuberikan membawaku pada masa dimana kamu dan aku masih sering tertawa bahagia dan bukan seperti saat ini yang saling tidak mengenal satu sama lain? Jika memaafkan berarti memberi kesempatan sekali lagi, bisakah maaf yang kuberikan membawaku pada masa dimana kamu selalu mencampakkan aku yang sudah memberimu kesempatan berkali-kali? Apa maaf hanya sebuah kata yang dengan mudahnya diberikan seseorang? Tidak. Bahkan ketika ia orang yang paling rendah hati dan tegar sekalipun, ketika ia memberi maaf yang terucap dari bibirnya, masih ada sedikit luka yang masih membekas pada hatinya. Maaf. Empat huruf yang bukan dengan mudahnya diberikan seseorang. Ketika luka sudah terlalu dalam tergoreskan, bahkan maaf tak berarti banyak untuk kesalahan si penggores luka. Tapi bisakah maaf yang memang suatu saat nanti kuberikan ini akan mengubahmu menjadi orang yang lebih baik lagi? Bisakah kau memanfaatkan kesempatan yang kuberikan lagi untuk tidak kau campakkan begitu saja?
Maaf. Aku belajar banyak dari kata maaf. Ketika maaf sudah terlalu banyak kuberikan untuk seseorang yang selalu menganggapku tak ada, aku mulai mengerti. Maaf. Bukan barang yang dengan mudahnya kau berikan kepada seseorang yang selalu membuangmu. Ketika hati sudah terlalu sakit, bahkan sebuah kata maaf pun tak mampu terucap lagi. Maaf. Aku mencoba memaafkan. Selalu mengalah. Dan selalu luluh untuk memaafkan orang yang aku sayang sekalipun mereka menyakitiku lebih dari kemampuan hatiku untuk bertahan. Aku memaafkan. Aku memberi maaf. Benarkah? Tapi hati ini bukan mainan. Sekalipun maaf terucap, bukan berarti luka yang sudah terlalu dalam tergores dapat sembuh begitu cepat. Tapi, hari ini, aku akan memberi maaf kepada siapapun yang pernah menyakitiku. Memberi maaf kepada orang-orang yang sudah banyak melukiskan luka di hatiku. Karena ketika siapapun tak ingin meminta maaf, aku ingin menjadi orang yang pertama memberi maaf. Maafkan. Karena aku tahu, semua akan indah pada waktunya...

Minggu, 20 Januari 2013

Well, ini tulisan spesial...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.33 0 komentar
Cinta itu gravitasi, mengikatku. Menjeratku pada kenyataan aku terpaku padamu, sampai tak ingin berpaling. Daya tarikmu begitu kuat, mencengkram diriku, tak kan berpaling.
Aku bagai Saturnus, yang mengelilingi matahari. Menempuh jutaan jarak, hanya untuk didekatmu. Aku cuma Saturnus, yang setia mengikuti alur orbit yang kau buat.
Aku cuma satelit, yang mengelilingi planetnya. Yang terjebak dalam pesona yang terlalu membahagiakan. Aku cuma satelit, yang bukan apa-apa tanpa kamu, planetku. Tujuanku. Aku tak bisa berpaling.
Kenyataannya, aku bukan siapa-siapa tanpamu. Kenyataannya kamu alur hidupku. Kenyataannya tanpamu -daya tarikmu- aku hanya diam. 
Tapi kau matahari. Gravitasimu tak bisa dilawan, walau aku sudah terlalu lelah mengorbit. Tapi kau planetku, yang tak bisa dihindari. Walaupun aku tidak terlindung atmosfer, merasakan sakit, membiarkan meteor melubangi hatiku. 
Karna kamu, sudah begitu. Terlanjur.
Kamu yang kutulis, dalam hari indah penuh harap. Kamu yang kunyanyikan, dalam rindu pada mimpi. Kamu yang tidak pernah membaca harapan yang kutulis. Kamu yang tidak pernah mendengar alunan rindu yang kunyanyikan. 
Sudah lama, senyummu terbingkai di sini.Tawamu menentramkan raga ini. Suaramu terngiang dalam otakku. Matamu menembus hatiku, sudah lama.
Sudah lama, sesak ini menggelora. Rasa ini tertahan di sini, tetap tinggal terus menyesakkan. Terlalu lama.
Terlalu lama, untuk seseorang yang sabar mengagumi dari jauh.Untuk seseorang yang sudah terlalu percaya pada harapan. Untuk seseorang yang sudah kecewa dari awal. Untuk orang sepertiku, yang hanya sanggup mengagumimu.
Lama. Sakit. Bodoh. Bukan apa-apa. Aneh ya? Tapi melihat dirimu di sana, rasanya aku sanggup menghadapi apapun.
Bahkan kenyataannya sosok itu hanya bayangan semu, yang kupandangi dalam diam.

* Special from Ossi Widiari
  Edisi random Rahtut-Adi. Neptunus-Saturnus :')

Jumat, 11 Januari 2013

Dan ketika seseorang yang menyayangimu pergi...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.05 0 komentar

Aku mencari jawaban atas semua ini. Bertanya pada angin yang berhembus, bertanya pada air yang mengalir, bertanya kepada rerumputan yang digoyangkan perlahan oleh angin. Kemanakah? Kemanakah hilangnya rasa dan logikamu selama ini? Aku masih terdiam, hanyut dalam pemikiranku sendiri. Masih belum memahami. Masih belum percaya atas semua ini. Setega itukah? Sehina apa diriku yang begitu pantas menurutmu untuk kau sakiti? Bahkan, ketika raga sudah tak mampu berdiri, kau masih menyisakan tenaga untuk menjatuhkanku sampai tersungkur. Dimanakah nurani yang selama ini kau punya? Adakah? Aku menangis. Menangis tanpa suara. Menyiaratkan bahwa luka ini sudah terlalu dalam. Terlalu sakit. Kau yang di sana, masih ingatkah bahwa kita yang dulu satu sudah berubah menjadi aku dan kamu? Masih ingatkah pada tawa renyah yang dulu tercipta pada setiap percakapan kecil yang kita lakukan sudah berubah menjadi tangis pada hati masing-masing? Masih ingatkah pada kita yang dulu selalu bersama-sama menjalani hidup kini sudah berubah menjadi kita yang tak pernah saling bersapa. Masih ingatkah pada kita yang dulu menikmati aroma kehidupan bersama-sama sudah berubah menjadi aku yang selalu merasa sesak akan kehidupan ini? Sungguh kaupun tak ingat.
Ketika aku berusaha meneguhkan hatiku sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi untukmu. Lagi. Kau hempaskan perasaan ini seperti menghempaskan sebuah batu ke dalam jurang. Bahkan, kesempatan yang kuberikan berkali-kali tak mampu juga merubah sifat lamamu. Sadarkah, bahwa luka yang selalu kau goreskan pada seseorang yang menyayangimu ini sudah tak mampu lagi mengeluarkan darah, ketika hati tak bisa lagi berkata apa-apa. Dan jika suatu saat nanti aku berhenti untuk selalu ada untukmu, masih bisakah kau mengingatku menjadi bagian dari orang yang tulus menyayangimu? Aku menyayangimu. Sungguh. Dan tak ada dusta di setiap perkataanku. Maukah kau menjaga setiap pengorbananku untuk selalu kau ingat jika aku memutuskan untuk berhenti ada dalam setiap waktumu? Ada kalanya, jika kau mengerti bahwa tak selamanya perasaanku masih bisa sekuat dan setegar sekarang.



Dan tulisan ini kubuat, saat air mata tak mampu mengungkapkan kata-kata.

  Saat air mata tak mampu melukiskan betapa perih semua luka yang tergores.

 Saat air mata tak bisa membuatku mengerti bahwa kamu bukanlah orang yang pantas aku   perjuangkan...


Kamis, 10 Januari 2013

Ketika luka kembali tergores...

Diposting oleh Diah Novianti di 07.19 0 komentar
Aku pernah merasakan luka di hatiku. Perih. Seakan semua hancur begitu saja. Hancur. Hina. Bahkan akan bertambah perih lagi ketika seseorang yang kau sayang tak pernah mengetahui bahwa luka tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan, ketika perlahan-lahan, waktu demi waktu, detik demi detik. Luka itu mulai mengering walau bekasnya masih sulit untuk hilang dari ingatan. Semakin kering dan semakin membaik. Hingga pada suatu saat, suatu malam, kau ada di sini. Nyata. Bukan sebuah ilusi yang diciptakan oleh angan pemimpi sepertiku. Kau datang, membawa harapan, membawa kebahagiaan. Aku mulai bisa merasakan kehadiranmu lagi. Berjalan bersama waktu dan mengukir setiap kenangan yang akan kita ingat nantinya. Menari bersama hangatnya mentari dan menatap indahnya rembulan bersama-sama. Hingga pada suatu saat, tanpa terduga, hal itu terjadi lagi. Kau pergi. Kembali menggoreskan luka. Semakin dalam dan semakin perih dari sebelumnya. Luka lama itu kembali terbuka. Kembali tergores. Bahkan jauh lebih dalam lagi. Hingga hati ini tak lagi rasa. Jika kau datang hanya untuk menggoreskan luka lalu kembali pergi. Apakah hati ini memang tempat yang tepat untuk persinggahan sementara? Apakah hati ini memang tak pantas merasa bahagia? Untuk apa? Aku mengerti. Aku paham. Walau kutahu diriku sakit, aku memang bukan untukmu. Tetapi sadarkah, sedalam apa luka ini tergores, seberapa luka ini membawa perih. Entah. Hati ini punya perasaan, hati ini punya kebahagiaan, dan hati ini punya kamu. Maukah kau menjaganya untukku?

* Untuk seseorang yang air mata serta tawanya pernah menjadi milikku.
  Yang tak pernah sadar bahwa aku sudah terlalu rapuh untuk disakiti.
  Sadarlah...

Selasa, 22 Januari 2013

Neptunus-Saturnus...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.48 0 komentar
Aku sebuah Saturnus, yang ingin selalu dekat dengan Neptunus. Karna dia planetku, yang selalu berdampingan saatku mengorbit. 
Aku ingin menjadi Saturnus, yang selalu bisa bersebelahan dengan Neptunus. Karna dia gravitasiku, yang mengikatku untuk tak bisa lagi berpaling lagi.
Aku pernah menjadi Saturnus, yang selalu dihempaskan Neptunus. Karna dia begitu indah, karna dia bisa melakukan apapun yang dia mau.
Tapi kamu Neptunus, yang selalu ada di sampingku saat aku mengorbit. Yang selalu ada di sampingku saat aku bersinar. Yang selalu ada di sampingku saat hujan meteor melubangi atmosferku.
Tapi kamu Neptunus, yang selalu menganggap bahwa aku tak pernah ada. Yang selalu menjauhi aku saat aku terlalu lelah mengorbit. Yang selalu melukai hatiku saat aku sudah terlalu -sangat terlalu- lelah untuk mengorbit.
Aku cuma Saturnus. Yang terlalu terpaku pada daya tarikmu. Yang terlalu terjerat pada gravitasimu. Sampai aku tak mampu mengatasi sudah berapa banyak lubang yang tercipta pada atmosfer hatiku. 
Kenyatannya aku cuma Saturnus, yang hanya bisa diam ketika kamu pergi, ketika Uranus mengalihkan duniamu, bahkan aku tak pernah berarti apa-apa lagi di matamu. 
Kenyataannya aku cuma Saturnus, yang hanya bisa diam, ketika aku terhalang oleh keindahan Uranus yang selalu mendapatkan sinarmu.
Kamu Neptunus, aku Saturnus. Tapi Uranus? Haruskah dia menghalangi kita? Ya. Karna Uranus selalu bisa lebih dekat denganmu. Karna Uranus lebih berarti dari apapun dibandingkan aku. Karna Uranus lebih memiliki banyak persamaan denganmu dibanding aku. 
Karna aku cuma Saturnus. Saturnus yang sudah terlalu lelah mengorbit terlalu jauh lagi, terlalu lelah mengorbit untuk mendapatkan perhatianmu...




Memaafkan...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.17 0 komentar
Maaf. Kata yang selalu pertama kali diucapkan seseoramg ketika berbuat salah. Jika memaafkan semudah yang diucapkan, bisakah maaf yang kuberikan membawaku pada masa dimana kamu dan aku masih sering tertawa bahagia dan bukan seperti saat ini yang saling tidak mengenal satu sama lain? Jika memaafkan berarti memberi kesempatan sekali lagi, bisakah maaf yang kuberikan membawaku pada masa dimana kamu selalu mencampakkan aku yang sudah memberimu kesempatan berkali-kali? Apa maaf hanya sebuah kata yang dengan mudahnya diberikan seseorang? Tidak. Bahkan ketika ia orang yang paling rendah hati dan tegar sekalipun, ketika ia memberi maaf yang terucap dari bibirnya, masih ada sedikit luka yang masih membekas pada hatinya. Maaf. Empat huruf yang bukan dengan mudahnya diberikan seseorang. Ketika luka sudah terlalu dalam tergoreskan, bahkan maaf tak berarti banyak untuk kesalahan si penggores luka. Tapi bisakah maaf yang memang suatu saat nanti kuberikan ini akan mengubahmu menjadi orang yang lebih baik lagi? Bisakah kau memanfaatkan kesempatan yang kuberikan lagi untuk tidak kau campakkan begitu saja?
Maaf. Aku belajar banyak dari kata maaf. Ketika maaf sudah terlalu banyak kuberikan untuk seseorang yang selalu menganggapku tak ada, aku mulai mengerti. Maaf. Bukan barang yang dengan mudahnya kau berikan kepada seseorang yang selalu membuangmu. Ketika hati sudah terlalu sakit, bahkan sebuah kata maaf pun tak mampu terucap lagi. Maaf. Aku mencoba memaafkan. Selalu mengalah. Dan selalu luluh untuk memaafkan orang yang aku sayang sekalipun mereka menyakitiku lebih dari kemampuan hatiku untuk bertahan. Aku memaafkan. Aku memberi maaf. Benarkah? Tapi hati ini bukan mainan. Sekalipun maaf terucap, bukan berarti luka yang sudah terlalu dalam tergores dapat sembuh begitu cepat. Tapi, hari ini, aku akan memberi maaf kepada siapapun yang pernah menyakitiku. Memberi maaf kepada orang-orang yang sudah banyak melukiskan luka di hatiku. Karena ketika siapapun tak ingin meminta maaf, aku ingin menjadi orang yang pertama memberi maaf. Maafkan. Karena aku tahu, semua akan indah pada waktunya...

Minggu, 20 Januari 2013

Well, ini tulisan spesial...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.33 0 komentar
Cinta itu gravitasi, mengikatku. Menjeratku pada kenyataan aku terpaku padamu, sampai tak ingin berpaling. Daya tarikmu begitu kuat, mencengkram diriku, tak kan berpaling.
Aku bagai Saturnus, yang mengelilingi matahari. Menempuh jutaan jarak, hanya untuk didekatmu. Aku cuma Saturnus, yang setia mengikuti alur orbit yang kau buat.
Aku cuma satelit, yang mengelilingi planetnya. Yang terjebak dalam pesona yang terlalu membahagiakan. Aku cuma satelit, yang bukan apa-apa tanpa kamu, planetku. Tujuanku. Aku tak bisa berpaling.
Kenyataannya, aku bukan siapa-siapa tanpamu. Kenyataannya kamu alur hidupku. Kenyataannya tanpamu -daya tarikmu- aku hanya diam. 
Tapi kau matahari. Gravitasimu tak bisa dilawan, walau aku sudah terlalu lelah mengorbit. Tapi kau planetku, yang tak bisa dihindari. Walaupun aku tidak terlindung atmosfer, merasakan sakit, membiarkan meteor melubangi hatiku. 
Karna kamu, sudah begitu. Terlanjur.
Kamu yang kutulis, dalam hari indah penuh harap. Kamu yang kunyanyikan, dalam rindu pada mimpi. Kamu yang tidak pernah membaca harapan yang kutulis. Kamu yang tidak pernah mendengar alunan rindu yang kunyanyikan. 
Sudah lama, senyummu terbingkai di sini.Tawamu menentramkan raga ini. Suaramu terngiang dalam otakku. Matamu menembus hatiku, sudah lama.
Sudah lama, sesak ini menggelora. Rasa ini tertahan di sini, tetap tinggal terus menyesakkan. Terlalu lama.
Terlalu lama, untuk seseorang yang sabar mengagumi dari jauh.Untuk seseorang yang sudah terlalu percaya pada harapan. Untuk seseorang yang sudah kecewa dari awal. Untuk orang sepertiku, yang hanya sanggup mengagumimu.
Lama. Sakit. Bodoh. Bukan apa-apa. Aneh ya? Tapi melihat dirimu di sana, rasanya aku sanggup menghadapi apapun.
Bahkan kenyataannya sosok itu hanya bayangan semu, yang kupandangi dalam diam.

* Special from Ossi Widiari
  Edisi random Rahtut-Adi. Neptunus-Saturnus :')

Jumat, 11 Januari 2013

Dan ketika seseorang yang menyayangimu pergi...

Diposting oleh Diah Novianti di 05.05 0 komentar

Aku mencari jawaban atas semua ini. Bertanya pada angin yang berhembus, bertanya pada air yang mengalir, bertanya kepada rerumputan yang digoyangkan perlahan oleh angin. Kemanakah? Kemanakah hilangnya rasa dan logikamu selama ini? Aku masih terdiam, hanyut dalam pemikiranku sendiri. Masih belum memahami. Masih belum percaya atas semua ini. Setega itukah? Sehina apa diriku yang begitu pantas menurutmu untuk kau sakiti? Bahkan, ketika raga sudah tak mampu berdiri, kau masih menyisakan tenaga untuk menjatuhkanku sampai tersungkur. Dimanakah nurani yang selama ini kau punya? Adakah? Aku menangis. Menangis tanpa suara. Menyiaratkan bahwa luka ini sudah terlalu dalam. Terlalu sakit. Kau yang di sana, masih ingatkah bahwa kita yang dulu satu sudah berubah menjadi aku dan kamu? Masih ingatkah pada tawa renyah yang dulu tercipta pada setiap percakapan kecil yang kita lakukan sudah berubah menjadi tangis pada hati masing-masing? Masih ingatkah pada kita yang dulu selalu bersama-sama menjalani hidup kini sudah berubah menjadi kita yang tak pernah saling bersapa. Masih ingatkah pada kita yang dulu menikmati aroma kehidupan bersama-sama sudah berubah menjadi aku yang selalu merasa sesak akan kehidupan ini? Sungguh kaupun tak ingat.
Ketika aku berusaha meneguhkan hatiku sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi untukmu. Lagi. Kau hempaskan perasaan ini seperti menghempaskan sebuah batu ke dalam jurang. Bahkan, kesempatan yang kuberikan berkali-kali tak mampu juga merubah sifat lamamu. Sadarkah, bahwa luka yang selalu kau goreskan pada seseorang yang menyayangimu ini sudah tak mampu lagi mengeluarkan darah, ketika hati tak bisa lagi berkata apa-apa. Dan jika suatu saat nanti aku berhenti untuk selalu ada untukmu, masih bisakah kau mengingatku menjadi bagian dari orang yang tulus menyayangimu? Aku menyayangimu. Sungguh. Dan tak ada dusta di setiap perkataanku. Maukah kau menjaga setiap pengorbananku untuk selalu kau ingat jika aku memutuskan untuk berhenti ada dalam setiap waktumu? Ada kalanya, jika kau mengerti bahwa tak selamanya perasaanku masih bisa sekuat dan setegar sekarang.



Dan tulisan ini kubuat, saat air mata tak mampu mengungkapkan kata-kata.

  Saat air mata tak mampu melukiskan betapa perih semua luka yang tergores.

 Saat air mata tak bisa membuatku mengerti bahwa kamu bukanlah orang yang pantas aku   perjuangkan...


Kamis, 10 Januari 2013

Ketika luka kembali tergores...

Diposting oleh Diah Novianti di 07.19 0 komentar
Aku pernah merasakan luka di hatiku. Perih. Seakan semua hancur begitu saja. Hancur. Hina. Bahkan akan bertambah perih lagi ketika seseorang yang kau sayang tak pernah mengetahui bahwa luka tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan, ketika perlahan-lahan, waktu demi waktu, detik demi detik. Luka itu mulai mengering walau bekasnya masih sulit untuk hilang dari ingatan. Semakin kering dan semakin membaik. Hingga pada suatu saat, suatu malam, kau ada di sini. Nyata. Bukan sebuah ilusi yang diciptakan oleh angan pemimpi sepertiku. Kau datang, membawa harapan, membawa kebahagiaan. Aku mulai bisa merasakan kehadiranmu lagi. Berjalan bersama waktu dan mengukir setiap kenangan yang akan kita ingat nantinya. Menari bersama hangatnya mentari dan menatap indahnya rembulan bersama-sama. Hingga pada suatu saat, tanpa terduga, hal itu terjadi lagi. Kau pergi. Kembali menggoreskan luka. Semakin dalam dan semakin perih dari sebelumnya. Luka lama itu kembali terbuka. Kembali tergores. Bahkan jauh lebih dalam lagi. Hingga hati ini tak lagi rasa. Jika kau datang hanya untuk menggoreskan luka lalu kembali pergi. Apakah hati ini memang tempat yang tepat untuk persinggahan sementara? Apakah hati ini memang tak pantas merasa bahagia? Untuk apa? Aku mengerti. Aku paham. Walau kutahu diriku sakit, aku memang bukan untukmu. Tetapi sadarkah, sedalam apa luka ini tergores, seberapa luka ini membawa perih. Entah. Hati ini punya perasaan, hati ini punya kebahagiaan, dan hati ini punya kamu. Maukah kau menjaganya untukku?

* Untuk seseorang yang air mata serta tawanya pernah menjadi milikku.
  Yang tak pernah sadar bahwa aku sudah terlalu rapuh untuk disakiti.
  Sadarlah...
 

Diahhh's Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos