Rabu, 06 Maret 2013

Maaf Bu, aku terlalu rapuh...

Diposting oleh Diah Novianti di 03.57

Ketika sang surya mulai merangkak naik dan panasnya merongrong kulit, di sanalah aku. Duduk dalam suatu tempat, bersenda gurau dengan teman-temanku. Seusai  pulang sekolah, aku sibuk dengan berbagai tugas dan kegiatanku. Sungguh, aku sangat tidak menyukai rumah! Bagiku rumah hanyalah tempat tinggal yang di dalamnya terdapat banyak orang egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Mengapa orang-orang selalu menyukai rumah dan selalu mengatakan “home sweet home”? “home hell home”!  Aku mulai melihat jadwal les-ku hari ini. Tidak ada les. Berarti aku bebas tidur seharian sampai sore nanti. Atau mungkin keluar dengan teman-temanku dan berkunjung ke suatu tempat.
Seusai ganti baju aku berjalan ke kamar ibuku. Wanita yang menyimpan banyak beban di pundaknya. Menyimpan berbagai kesedihan di wajahnya. Wanita yang selalu berjuang untuk anak-anaknya.
Ibu. Aku menyebutnya Ibu. Wanita itu terlalu banyak memikul beban yang tidak seharusnya ia tanggung. Wajahnya tampak lebih tua dari umurnya sekarang. Aku menatapnya, menemukan sosok wanita yang selalu sayang kepada anak-anaknya.
“Udah pulang?”
“Udah Bu.”
Udah makan belum?” Ah. Aku selalu suka kata-kata ini. Ibu selalu memerhatikan aku lebih dari siapapun.
“Udah.”
Ibu. Aku menatapnya sekali lagi. Tulus. Aku mulai memperhatikan wajahnya. Kerutan disana-sini. Wajahnya kusam, tak secerah dulu. Matanya sendu, tak sebercahaya dulu.
“Kalau Ibu nyari kerja di Mataram aja, Diah gak apa kan tinggal di sini? Sama bapak.”
Aku diam. Entah karena dasar apa Ibu mengatakan kalimat itu. Mataku mulai memanas. Aku mulai merasakan bulir-bulir air mata akan jatuh mengalir dari kedua mataku. Kutidurkan tubuhku di tempat tidur Ibu. Berusaha menyembunyikan air mata yang sebentar lagi akan mengalir.
“Ibu nyari kerja di Mataram supaya gak keganggu sama acara-acara di sini. Kalau di Mataram Ibu bisa bebas nyari uang, buat Diah buat Adit.”
“Tapi nanti Ibu diomong-omongin sama orang-orang di sini.”
“Gak apa. yang penting Ibu bisa nyari uang buat anak-anak Ibu. Terserah orang lain mau ngomong apa.”
“Tapi nanti Diah sendirian. Diah gak suka tinggal di sini. Gak enak.”
“Ibu juga gak suka. Ibu ninggalin anak-anaknya Ibu bukan karena Ibu mau nyari uang buat diri Ibu sendiri, justru karena Ibu sayang sama anak-anaknya Ibu. Supaya Ibu bisa beliin apa yang anak-anaknya Ibu pengen.
“Terus Diah sama siapa?”
“Kan ada Bapak. Nanti ibu buatin Diah tabungan, buat Ibu kirimin uang tiap bulan.”
Aku terdiam, menangis tanpa suara. Ibu memalingkan wajahnya kepadaku. Aku tahu dia menatapku. Aku takut menatapnya balik. Terlalu menyedihkan.
“Diah, kan baru rencana. Kalau Ibu udah bisa kerja bebas di sana, Diah mau ikut sama Ibu?”
“Mau.” Dengan polos aku mengatakannya.
Aku melihat Ibuku mengusap matanya. Entah apakah ia ikut menangis juga. Aku melihat wajah wanita itu. Banyak kesedihan yang ia sembunyikan selama ini. Banyak penderitaan yang ia jalani selama ini.
“Diah, Ibu kerja buat anak-anak Ibu. Karna Ibu sayang. Ibu pengen anak-anaknya Ibu seneng.”
“Iya.”
Dan percakapan siang itu terhenti. Makanan siang itu terasa hambar, sehambar perasaanku memikirkan percakapan singkat siang itu. Aku masih menangis. Berusaha menyembunyikan air mata yang terus berjatuhan. Menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Ibu. Wanita itu terlalu kuat menjalani hidupnya. Terlalu kuat untuk menopang beban-beban di pundaknya. Maaf Bu, aku terlalu rapuh…

0 komentar:

Posting Komentar

Rabu, 06 Maret 2013

Maaf Bu, aku terlalu rapuh...

Diposting oleh Diah Novianti di 03.57

Ketika sang surya mulai merangkak naik dan panasnya merongrong kulit, di sanalah aku. Duduk dalam suatu tempat, bersenda gurau dengan teman-temanku. Seusai  pulang sekolah, aku sibuk dengan berbagai tugas dan kegiatanku. Sungguh, aku sangat tidak menyukai rumah! Bagiku rumah hanyalah tempat tinggal yang di dalamnya terdapat banyak orang egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Mengapa orang-orang selalu menyukai rumah dan selalu mengatakan “home sweet home”? “home hell home”!  Aku mulai melihat jadwal les-ku hari ini. Tidak ada les. Berarti aku bebas tidur seharian sampai sore nanti. Atau mungkin keluar dengan teman-temanku dan berkunjung ke suatu tempat.
Seusai ganti baju aku berjalan ke kamar ibuku. Wanita yang menyimpan banyak beban di pundaknya. Menyimpan berbagai kesedihan di wajahnya. Wanita yang selalu berjuang untuk anak-anaknya.
Ibu. Aku menyebutnya Ibu. Wanita itu terlalu banyak memikul beban yang tidak seharusnya ia tanggung. Wajahnya tampak lebih tua dari umurnya sekarang. Aku menatapnya, menemukan sosok wanita yang selalu sayang kepada anak-anaknya.
“Udah pulang?”
“Udah Bu.”
Udah makan belum?” Ah. Aku selalu suka kata-kata ini. Ibu selalu memerhatikan aku lebih dari siapapun.
“Udah.”
Ibu. Aku menatapnya sekali lagi. Tulus. Aku mulai memperhatikan wajahnya. Kerutan disana-sini. Wajahnya kusam, tak secerah dulu. Matanya sendu, tak sebercahaya dulu.
“Kalau Ibu nyari kerja di Mataram aja, Diah gak apa kan tinggal di sini? Sama bapak.”
Aku diam. Entah karena dasar apa Ibu mengatakan kalimat itu. Mataku mulai memanas. Aku mulai merasakan bulir-bulir air mata akan jatuh mengalir dari kedua mataku. Kutidurkan tubuhku di tempat tidur Ibu. Berusaha menyembunyikan air mata yang sebentar lagi akan mengalir.
“Ibu nyari kerja di Mataram supaya gak keganggu sama acara-acara di sini. Kalau di Mataram Ibu bisa bebas nyari uang, buat Diah buat Adit.”
“Tapi nanti Ibu diomong-omongin sama orang-orang di sini.”
“Gak apa. yang penting Ibu bisa nyari uang buat anak-anak Ibu. Terserah orang lain mau ngomong apa.”
“Tapi nanti Diah sendirian. Diah gak suka tinggal di sini. Gak enak.”
“Ibu juga gak suka. Ibu ninggalin anak-anaknya Ibu bukan karena Ibu mau nyari uang buat diri Ibu sendiri, justru karena Ibu sayang sama anak-anaknya Ibu. Supaya Ibu bisa beliin apa yang anak-anaknya Ibu pengen.
“Terus Diah sama siapa?”
“Kan ada Bapak. Nanti ibu buatin Diah tabungan, buat Ibu kirimin uang tiap bulan.”
Aku terdiam, menangis tanpa suara. Ibu memalingkan wajahnya kepadaku. Aku tahu dia menatapku. Aku takut menatapnya balik. Terlalu menyedihkan.
“Diah, kan baru rencana. Kalau Ibu udah bisa kerja bebas di sana, Diah mau ikut sama Ibu?”
“Mau.” Dengan polos aku mengatakannya.
Aku melihat Ibuku mengusap matanya. Entah apakah ia ikut menangis juga. Aku melihat wajah wanita itu. Banyak kesedihan yang ia sembunyikan selama ini. Banyak penderitaan yang ia jalani selama ini.
“Diah, Ibu kerja buat anak-anak Ibu. Karna Ibu sayang. Ibu pengen anak-anaknya Ibu seneng.”
“Iya.”
Dan percakapan siang itu terhenti. Makanan siang itu terasa hambar, sehambar perasaanku memikirkan percakapan singkat siang itu. Aku masih menangis. Berusaha menyembunyikan air mata yang terus berjatuhan. Menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Ibu. Wanita itu terlalu kuat menjalani hidupnya. Terlalu kuat untuk menopang beban-beban di pundaknya. Maaf Bu, aku terlalu rapuh…

0 komentar on "Maaf Bu, aku terlalu rapuh..."

Posting Komentar

 

Diahhh's Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos