Rabu, 06 Maret 2013

Someone in distance...

Diposting oleh Diah Novianti di 04.04

-Dan pertemuan singkat tak pernah terasa sederhana bagi mereka yang terpisah oleh jarak-
Jarak terlalu egois! Aku rindu kamu. Aku kangen kamu. Jarak terlalu egois memisahkan kita! Begitulah kira-kira kata hati Nadia saat ini. Ketika ia dihadapkan oleh berbagai sesuatu yang dipisahkan oleh jarak, apa ia masih harus berjuang atau memilih berhenti? 

**

Nadia menghempaskan tubuhnya di sofa. Panas matahari yang merongrong di luar menyebabkan keringatnya terus bercucuran. Sambil meminum segelas jus jeruk siang itu, Nadia melihat-lihat tanggal di kalender. Sudah 4 bulan. Iya, sudah 4 bulan semenjak kepergian Rino. Air mata Nadia mulai menyembul kembali dari pelupuk matanya. Rino. Nama itu mungkin tak akan pernah pudar di hati Nadia. Orang yang selalu menemaninya, penyebab tangis dan tawanya kini telah hilang. Ini bulan ke-empat semenjak kematian Rino. Tanggal 27 pasti akan selalu menjadi tanggal yang tidak akan pernah luput dari ingatannya. Nadia selalu menyesali perbuatannya dulu, memaki-maki Rino sehari sebelum ia pergi, bahkan Nadia pun tak sempat melihat jenazah Rino.

“Aku kangen kamu, Rin. Maafin aku.”

Nadia tak pernah mengerti, mengapa perpisahan selalu menimbulkan jarak yang sangat jauh untuk seseorang. Nadia menghela nafasnya, ia lelah sekali. Lalu ditidurkannya tubuhnya di sofa siang itu. 

**

Nadia berjalan-jalan di taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Menimbulkan warna-warna yang sangat menyegarkan mata. Di sudut taman ia melihat seseorang, mengenakan kemeja abu-abu dengan skinny jeans berwarna gelap. Menangis terduduk di sudut taman. Siapa dia?
Nadia berjalan mengendap-endap. Memerhatikan orang itu lebih dekat lagi. Semakin dekat dan semakin dekat. Orang itu merasa ada yang memerhatikannya, dengan cepat ia pun menoleh. Nadia menutup mulutnya dengan terkaget-kaget. Rino?!

“Ah sial mimpi lagi!”

Nadia tak pernah suka bermimpi seperti itu, seolah-olah Rino masih hidup! Terlihat sangat nyata dan dekat. Memang, sudah beberapa hari ini Nadia memimpikan Rino lagi. Memimpikan bahwa Rino masih ada di sampingnya dan belum pergi untuk selamanya. Tapi, itu mustahil!
Sore itu Nadia ingin pergi ke suatu tempat yang baru. Yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dengan sigap sopirnya pun siap mengantarnya kemanapun ia mau. Nadia selalu senang dengan kesetiaan sopirnya yang selalu mau mengantarnya ke tempat yang ia sukai.

“Pak Didik, bisa antar Nadia ke tempat baru? Kira-kira kemana ya? Nadia pengen suasana yang beda.”

“Eemm, kemana ya, Non? Kalo ke tempat penampungan anak-anak jalanan mau? Ya, Cuma saran sih. Kan suasana beda.”

“Boleh! Yuk pak anterian Nadia kesana! Kira-kira di sana ada apa aja ya, Pak? Ada anak-anak jalanan yang lagi ngapain emang? Kita harus bawa apa?” tanya Nadia bersemangat.

Pak Didik tersenyum. Lelaki tua itu tak pernah mengeluh akan permintaan majikannya. Ia sudah mengantar Nadia kesana-kemari  dari kecil sampai sebesar ini, tentu saja Pak Didik sudah menganggap Nadia sebagai anak sendiri. Lagipula ia tahu bagaimana perasaan seorang anak yang terlalu sering ditinggal ke luar kota oleh orang tuanya.

“Wah, Non Nadia semangat banget nih! Sebelum kesana kita mampir ke swalayan dulu ya. Beli makanan buat mereka. Non Nadia ada baju bekas? Sumbangin aja ke mereka, mungkin bakal lebih berarti daripada didiemin percuma.”

“Kalo baju bekas Nadia mah punya banyak di gudang. Nadia ambil dulu ya, Pak!”

Nadia berlari kecil memasuki rumah, meninggalkan Pak Didik yang masih diam mematung sambil menyunggingkan senyum simpul. 

**

Sekarung baju bekas dan sekardus makanan sudah ada di tangan Nadia. Dengan dibantu Pak Didik yang juga tergopoh-gopoh ia membawa karung dan kardus tersebut, Nadia berhasil juga membawa “oleh-oleh” itu dengan selamat. Lokasi penampungan anak-anak jalanan itu memang agak jauh dari tempat Nadia memarkirkan mobilnya. Maklum, lokasinya memang agak sulit dijangkau.

“Maaf ya, Non. Tempatnya banyak sampah begini.”

“Ah, enggak apa-apa kok, Pak. Nadia senang bisa bantu-bantu anak jalanan di sini.”

“Rumah” anak-anak jalanan itu sudah mulai terlihat. Beberapa dari mereka sudah mulai mengerumuni Nadia. Nadia terlihat senang sambil sesekali bercakap-cakap dengan anak-anak jalanan itu. Ia pun mulai membagi-bagikan baju yang ia punya. Ada yang bersorak kegirangan, ada yang langsung memeluk Nadia, bahkan ada yang langsung memakai baju itu dan memamerkannya ke seluruh sudut di tempat itu. Kegembiraan jelas terpancar dari raut muka anak-anak jalanan itu. Bagi Nadia, itu merupakan kebahagiaan tersendiri baginya. Melihat anak-anak jalanan bersorak kegirangan akibat baju dan berbagai makanan yang ia berikan.
Diantara ramainya anak-anak jalanan, ada sekelebat sosok bayangan yang muncul. Jauh diantara tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung. Nadia merasa ingin tahu. Diikutinya orang itu. Sosok itu sibuk dengan kegiatannya, mengurusi segala keperluan yang dibutuhkan oleh anak-anak jalanan. Nadia terus memerhatikannya, siapa dia sebenarnya? Ia merasa harus mengetahui siapa identitas asli pemilik sosok itu.
Nadia terus mengikuti orang itu hingga pada sebuah empang yang tak jauh dari “rumah” anak-anak jalanan. Lama-kelamaan orang itu merasa ada yang mengikutinya tapi ia tak menghiraukannya. Sosok itu membalikkan badannya. Mata Nadia dan laki-laki itu bertemu. Mereka terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Dan tiba-tiba air mata Nadia mulai menampakkan diri di pelupuk matanya.
“Rino…”

0 komentar:

Posting Komentar

Rabu, 06 Maret 2013

Someone in distance...

Diposting oleh Diah Novianti di 04.04

-Dan pertemuan singkat tak pernah terasa sederhana bagi mereka yang terpisah oleh jarak-
Jarak terlalu egois! Aku rindu kamu. Aku kangen kamu. Jarak terlalu egois memisahkan kita! Begitulah kira-kira kata hati Nadia saat ini. Ketika ia dihadapkan oleh berbagai sesuatu yang dipisahkan oleh jarak, apa ia masih harus berjuang atau memilih berhenti? 

**

Nadia menghempaskan tubuhnya di sofa. Panas matahari yang merongrong di luar menyebabkan keringatnya terus bercucuran. Sambil meminum segelas jus jeruk siang itu, Nadia melihat-lihat tanggal di kalender. Sudah 4 bulan. Iya, sudah 4 bulan semenjak kepergian Rino. Air mata Nadia mulai menyembul kembali dari pelupuk matanya. Rino. Nama itu mungkin tak akan pernah pudar di hati Nadia. Orang yang selalu menemaninya, penyebab tangis dan tawanya kini telah hilang. Ini bulan ke-empat semenjak kematian Rino. Tanggal 27 pasti akan selalu menjadi tanggal yang tidak akan pernah luput dari ingatannya. Nadia selalu menyesali perbuatannya dulu, memaki-maki Rino sehari sebelum ia pergi, bahkan Nadia pun tak sempat melihat jenazah Rino.

“Aku kangen kamu, Rin. Maafin aku.”

Nadia tak pernah mengerti, mengapa perpisahan selalu menimbulkan jarak yang sangat jauh untuk seseorang. Nadia menghela nafasnya, ia lelah sekali. Lalu ditidurkannya tubuhnya di sofa siang itu. 

**

Nadia berjalan-jalan di taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Menimbulkan warna-warna yang sangat menyegarkan mata. Di sudut taman ia melihat seseorang, mengenakan kemeja abu-abu dengan skinny jeans berwarna gelap. Menangis terduduk di sudut taman. Siapa dia?
Nadia berjalan mengendap-endap. Memerhatikan orang itu lebih dekat lagi. Semakin dekat dan semakin dekat. Orang itu merasa ada yang memerhatikannya, dengan cepat ia pun menoleh. Nadia menutup mulutnya dengan terkaget-kaget. Rino?!

“Ah sial mimpi lagi!”

Nadia tak pernah suka bermimpi seperti itu, seolah-olah Rino masih hidup! Terlihat sangat nyata dan dekat. Memang, sudah beberapa hari ini Nadia memimpikan Rino lagi. Memimpikan bahwa Rino masih ada di sampingnya dan belum pergi untuk selamanya. Tapi, itu mustahil!
Sore itu Nadia ingin pergi ke suatu tempat yang baru. Yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dengan sigap sopirnya pun siap mengantarnya kemanapun ia mau. Nadia selalu senang dengan kesetiaan sopirnya yang selalu mau mengantarnya ke tempat yang ia sukai.

“Pak Didik, bisa antar Nadia ke tempat baru? Kira-kira kemana ya? Nadia pengen suasana yang beda.”

“Eemm, kemana ya, Non? Kalo ke tempat penampungan anak-anak jalanan mau? Ya, Cuma saran sih. Kan suasana beda.”

“Boleh! Yuk pak anterian Nadia kesana! Kira-kira di sana ada apa aja ya, Pak? Ada anak-anak jalanan yang lagi ngapain emang? Kita harus bawa apa?” tanya Nadia bersemangat.

Pak Didik tersenyum. Lelaki tua itu tak pernah mengeluh akan permintaan majikannya. Ia sudah mengantar Nadia kesana-kemari  dari kecil sampai sebesar ini, tentu saja Pak Didik sudah menganggap Nadia sebagai anak sendiri. Lagipula ia tahu bagaimana perasaan seorang anak yang terlalu sering ditinggal ke luar kota oleh orang tuanya.

“Wah, Non Nadia semangat banget nih! Sebelum kesana kita mampir ke swalayan dulu ya. Beli makanan buat mereka. Non Nadia ada baju bekas? Sumbangin aja ke mereka, mungkin bakal lebih berarti daripada didiemin percuma.”

“Kalo baju bekas Nadia mah punya banyak di gudang. Nadia ambil dulu ya, Pak!”

Nadia berlari kecil memasuki rumah, meninggalkan Pak Didik yang masih diam mematung sambil menyunggingkan senyum simpul. 

**

Sekarung baju bekas dan sekardus makanan sudah ada di tangan Nadia. Dengan dibantu Pak Didik yang juga tergopoh-gopoh ia membawa karung dan kardus tersebut, Nadia berhasil juga membawa “oleh-oleh” itu dengan selamat. Lokasi penampungan anak-anak jalanan itu memang agak jauh dari tempat Nadia memarkirkan mobilnya. Maklum, lokasinya memang agak sulit dijangkau.

“Maaf ya, Non. Tempatnya banyak sampah begini.”

“Ah, enggak apa-apa kok, Pak. Nadia senang bisa bantu-bantu anak jalanan di sini.”

“Rumah” anak-anak jalanan itu sudah mulai terlihat. Beberapa dari mereka sudah mulai mengerumuni Nadia. Nadia terlihat senang sambil sesekali bercakap-cakap dengan anak-anak jalanan itu. Ia pun mulai membagi-bagikan baju yang ia punya. Ada yang bersorak kegirangan, ada yang langsung memeluk Nadia, bahkan ada yang langsung memakai baju itu dan memamerkannya ke seluruh sudut di tempat itu. Kegembiraan jelas terpancar dari raut muka anak-anak jalanan itu. Bagi Nadia, itu merupakan kebahagiaan tersendiri baginya. Melihat anak-anak jalanan bersorak kegirangan akibat baju dan berbagai makanan yang ia berikan.
Diantara ramainya anak-anak jalanan, ada sekelebat sosok bayangan yang muncul. Jauh diantara tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung. Nadia merasa ingin tahu. Diikutinya orang itu. Sosok itu sibuk dengan kegiatannya, mengurusi segala keperluan yang dibutuhkan oleh anak-anak jalanan. Nadia terus memerhatikannya, siapa dia sebenarnya? Ia merasa harus mengetahui siapa identitas asli pemilik sosok itu.
Nadia terus mengikuti orang itu hingga pada sebuah empang yang tak jauh dari “rumah” anak-anak jalanan. Lama-kelamaan orang itu merasa ada yang mengikutinya tapi ia tak menghiraukannya. Sosok itu membalikkan badannya. Mata Nadia dan laki-laki itu bertemu. Mereka terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Dan tiba-tiba air mata Nadia mulai menampakkan diri di pelupuk matanya.
“Rino…”

0 komentar on "Someone in distance..."

Posting Komentar

 

Diahhh's Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos