Jumat, 09 November 2012

Rasa yang Abadi

Diposting oleh Diah Novianti di 04.46


Hancur hatiku mengetahui dia telah kembali bersama perempuan itu. Rasa sayang yang selama ini kuberikan seolah semuanya sia-sia. Nia, gadis yang baru masuk SMA itu menangis sesenggukan di kamarnya. Ia tak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini. Pengorbanan yang selalu ia berikan kepada Rio kini terbuang sia-sia sudah. Namun, ia tak pernah merasa benci kepada Rio, walaupun luka yang ada di hatinya saat ini adalah penghianatan Rio kepadanya. Banyak kenangan yang telah ia lalui bersama Rio. Salah satu yang tidak bisa ia lupakan begitu saja adalah ketika Rio mengajaknya ke suatu tempat yang indah, hanya berdua dan memakaikan bunga ke telinga Nia.
Berhari-hari Nia berada di dalam keterpurukannya. Hingga pada suatu hari, rasa sakitnya itu tak terbendung lagi. Ia menangis di bawah pohon jambu di halaman sekolah ketika melihat Rio berjalan bersama perempuan itu. Betapa pedih yang Nia rasakan. Air mata hangat mengalir di pipinya yang merona itu. Dan pada saat ia berada dalam kesendiriannya, seorang laki-laki mengulurkan tisu dan membantu mengusap air matanya. Ya, dialah Nino. Seorang laki-laki yang baik, ramah, dan juga pintar. Sesaat aku termenung menatapnya. Ternyata masih ada laki-laki yang baik di dunia ini. Ia mendengarkan semua ceritaku tentang Rio. Ia juga membantu untuk menenangkan diriku saat itu. Dia mengusap air mata yang terus mengalir membasahi pipiku, hingga ia memelukku untuk membuatku tenang.
Tak kusangka, semakin hari aku semakin dekat dengan Nino. Setiap hari ia memberikan kata-kata yang dapat membuatku tenang. Nino amat perhatian kepadaku. Sedikit demi sedikit aku mulai menyukainya dan melupakan sakit yang kuderita karena Rio. Aku mulai dekat dengan Nino, mulai dari jalan bareng ke kantin, membantuku dalam mengerjakan tugas sampai mengajakku jalan-jalan keluar untuk sekedar menghiburku dalam melupakan kesedihanku. Aku amat bahagia bersamanya. Dan pada suatu hari, kata-kata itu keluar dari mulut Nino. Ia menyayangiku dan tidak akan membuatku sedih dan sakit seperti yang Rio perbuat kepadaku. Aku pun merasa mulai menyayanginya.
Aku menerima Nino apa adanya. Hari-hari yang kujalani kini memang penuh kebahagiaan, namun terkadang bayang-bayang dan rasa sakit yang Rio berikan kerap kali muncul dalam mimpiku. Aku menangis setiap kali mengingat itu. Aku bercerita kepada sahabatku, Tito namanya. Dan ia dapat membuatku sedikit tenang dengan kata-katanya.
Nino amat menyayangiku, aku tahu itu. Begitu pun aku, aku sangat menyayanginya. Namun, bayang-bayang Rio yang kerap kali muncul membuatku takut. Nino tak pernah mengetahui hal ini karena aku pun tak ingin ia mengetahuinya. Cukup aku dan Tito yang tahu.
Sore itu, Nino mengajak Nia berjalan-jalan ke pantai. Sungguh sial nasib Nia hari itu. Dilihatnya Rio bersama cewek barunya yang juga berjalan-jalan di sekitar pantai. Ingin rasanya ia cepat-cepat pergi dari sana. Ketika kami bertatap muka, Rio memberikan senyum manisnya kepadaku. Ingin rasanya aku membalas senyumnya. Namun, entah mengapa aku mulai membenci Rio, segera aku memalingkan muka darinya. Nino mengejutkanku saat aku termenung memikirkan kejadian barusan. Ia tersenyum lembut mengusap wajahku. Dengan penuh percaya diri aku dan Nino berjalan di depan Rio sambil berkata, “Tau gak, kamu itu orang terjahat yang pernah aku temui di dunia ini !” teriakku dengan pandangan lurus ke depan. Nino dan Rio tersentak kaget, mereka tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Aku lantas mengajak Nino cepat-cepat pulang.
Malam harinya, aku termenung di meja belajarku. Tak pernah terpikirkan kata-kata tadi sore itu akan terlontar dari mulutku. Aku sendiri juga tak menyadarinya. Lamunanku terhenti ketika kudengar ada pesan masuk di HP ku. “Tidur Niaku sayang, udah malem.” “Iyaa.” Balasku singkat dari pesan Nino tadi. Aku mematikan lampu kamar dan segera tidur.
Esok harinya ketika pulang sekolah, tak biasanya kulihat Rio berjalan kaki. “Kemana mobil mewah yang selalu menjemputnya itu?”, pikirku dalam hati. Dan saat Rio menyebrang jalan, kulihat mobil bergerak kencang dari arah kanan. Aku terkejut. Segera kudorong tubuh Rio ke tepi jalan. Namun naas bagiku, aku yang tertabrak oleh mobil itu. Aku langsung tak sadarkan diri.
Begitu aku bangun, kudengar seseorang memanggil namaku. “ Nia, bangun.“ Aku tahu persis suara itu. Suara yang sudah lama tak kudengar, suara yang dulu selalu membuatku bahagia. “Nia.” ulangnya lagi. Sekarang aku benar-benar sadar. Benar, itu suara Rio. “ Nia, maaf ya, karena aku kamu jadi begini.” Kulihat bulir-bulir air mata mulai keluar dari matanya, mata yang gagah dan berani. Aku merasa ada yang aneh pada diriku, kakiku tidak bisa digerakkan lagi. “Kakiku, kenapa dengan kakiku?? Kenapa gak bisa bergerak?? Kenapaa ??!” Aku menjerit histeris setelah mengetahui kakiku lumpuh dan juga terluka parah akibat benturan yang sangat keras. Aku harus menerima sebuah kenyataan pahit lagi, akibat luka yang cukup parah dan benturan itu, aku harus mengamputasi kakiku. Aku semakin terpukul oleh kejadian ini. Tak pernah kusangka aku akan kehilangan kaki kananku. Tangisku langsung meledak saat itu juga. Aku terpukul, sangat terpukul.
Keesokan harinya jadwal operasiku akan berjalan. Aku mencoba tabah menghadapi semua ini. Dengan tenaga yang seadanya, aku berusaha untuk mengucapkan sesuatu kepada Rio. “Rio, aku masih menyayangimu, sangat menyayangimu. Tak dapat kupungkiri bahwa kau pernah menjadi bagian dari hidupku. Dan sampai aku bekata demikian pun, kamu masih tetap jadi bagian dari hidupku.” Nia berkata sambil tersenyum lembut. Ia juga meminta maaf kepada Nino dan Nino pun merelakan semuanya.
Satu jam, dua jam, operasi Nia tak kunjung selesai. Orang tua Nia mulai khawatir, begitu juga dengan Nino dan Rio. Saat itu juga lampu kamar operasi mati. Dokter keluar dengan keringat yang bercucuran di sekujur tubuhnya. “Bagaimana Dok ?” Tanya Papa Nia cemas. “ Maaf Pak, tapi kami sudah melakukan yang terbaik, kondisi anak bapak tiba-tiba drop saat melakukan operasi ini.” Tangis semua yang ada di sana langsung mengucur deras. Mereka kehilangan Nia, sosok gadis remaja yang ramah, sopan dan juga periang. Tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya tangis yang menemani mereka malam itu.
Penguburan Nia pun berlangsung. Semua teman-teman sekolah Nia menangisi kepergiannya. Rio terus memeluk batu nisan Nia. Tangisnya masih terus mengalir. Ia merasa ini semua terjadi karena kesalahannya. Di pusara Nia, ia berdoa dan berkata, “Nia, sampai kapanpun kamu tetap bidadari hatiku, berbahagialah kau di sana.” Kata Rio sambil terus menangis. Mungkin Nia di sana juga akan berkata, “Rio, aku juga sangat menyayangimu, akan terus kupendam rasa ini dan akan menjadi rasa yang abadi.”
***

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 09 November 2012

Rasa yang Abadi

Diposting oleh Diah Novianti di 04.46


Hancur hatiku mengetahui dia telah kembali bersama perempuan itu. Rasa sayang yang selama ini kuberikan seolah semuanya sia-sia. Nia, gadis yang baru masuk SMA itu menangis sesenggukan di kamarnya. Ia tak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini. Pengorbanan yang selalu ia berikan kepada Rio kini terbuang sia-sia sudah. Namun, ia tak pernah merasa benci kepada Rio, walaupun luka yang ada di hatinya saat ini adalah penghianatan Rio kepadanya. Banyak kenangan yang telah ia lalui bersama Rio. Salah satu yang tidak bisa ia lupakan begitu saja adalah ketika Rio mengajaknya ke suatu tempat yang indah, hanya berdua dan memakaikan bunga ke telinga Nia.
Berhari-hari Nia berada di dalam keterpurukannya. Hingga pada suatu hari, rasa sakitnya itu tak terbendung lagi. Ia menangis di bawah pohon jambu di halaman sekolah ketika melihat Rio berjalan bersama perempuan itu. Betapa pedih yang Nia rasakan. Air mata hangat mengalir di pipinya yang merona itu. Dan pada saat ia berada dalam kesendiriannya, seorang laki-laki mengulurkan tisu dan membantu mengusap air matanya. Ya, dialah Nino. Seorang laki-laki yang baik, ramah, dan juga pintar. Sesaat aku termenung menatapnya. Ternyata masih ada laki-laki yang baik di dunia ini. Ia mendengarkan semua ceritaku tentang Rio. Ia juga membantu untuk menenangkan diriku saat itu. Dia mengusap air mata yang terus mengalir membasahi pipiku, hingga ia memelukku untuk membuatku tenang.
Tak kusangka, semakin hari aku semakin dekat dengan Nino. Setiap hari ia memberikan kata-kata yang dapat membuatku tenang. Nino amat perhatian kepadaku. Sedikit demi sedikit aku mulai menyukainya dan melupakan sakit yang kuderita karena Rio. Aku mulai dekat dengan Nino, mulai dari jalan bareng ke kantin, membantuku dalam mengerjakan tugas sampai mengajakku jalan-jalan keluar untuk sekedar menghiburku dalam melupakan kesedihanku. Aku amat bahagia bersamanya. Dan pada suatu hari, kata-kata itu keluar dari mulut Nino. Ia menyayangiku dan tidak akan membuatku sedih dan sakit seperti yang Rio perbuat kepadaku. Aku pun merasa mulai menyayanginya.
Aku menerima Nino apa adanya. Hari-hari yang kujalani kini memang penuh kebahagiaan, namun terkadang bayang-bayang dan rasa sakit yang Rio berikan kerap kali muncul dalam mimpiku. Aku menangis setiap kali mengingat itu. Aku bercerita kepada sahabatku, Tito namanya. Dan ia dapat membuatku sedikit tenang dengan kata-katanya.
Nino amat menyayangiku, aku tahu itu. Begitu pun aku, aku sangat menyayanginya. Namun, bayang-bayang Rio yang kerap kali muncul membuatku takut. Nino tak pernah mengetahui hal ini karena aku pun tak ingin ia mengetahuinya. Cukup aku dan Tito yang tahu.
Sore itu, Nino mengajak Nia berjalan-jalan ke pantai. Sungguh sial nasib Nia hari itu. Dilihatnya Rio bersama cewek barunya yang juga berjalan-jalan di sekitar pantai. Ingin rasanya ia cepat-cepat pergi dari sana. Ketika kami bertatap muka, Rio memberikan senyum manisnya kepadaku. Ingin rasanya aku membalas senyumnya. Namun, entah mengapa aku mulai membenci Rio, segera aku memalingkan muka darinya. Nino mengejutkanku saat aku termenung memikirkan kejadian barusan. Ia tersenyum lembut mengusap wajahku. Dengan penuh percaya diri aku dan Nino berjalan di depan Rio sambil berkata, “Tau gak, kamu itu orang terjahat yang pernah aku temui di dunia ini !” teriakku dengan pandangan lurus ke depan. Nino dan Rio tersentak kaget, mereka tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Aku lantas mengajak Nino cepat-cepat pulang.
Malam harinya, aku termenung di meja belajarku. Tak pernah terpikirkan kata-kata tadi sore itu akan terlontar dari mulutku. Aku sendiri juga tak menyadarinya. Lamunanku terhenti ketika kudengar ada pesan masuk di HP ku. “Tidur Niaku sayang, udah malem.” “Iyaa.” Balasku singkat dari pesan Nino tadi. Aku mematikan lampu kamar dan segera tidur.
Esok harinya ketika pulang sekolah, tak biasanya kulihat Rio berjalan kaki. “Kemana mobil mewah yang selalu menjemputnya itu?”, pikirku dalam hati. Dan saat Rio menyebrang jalan, kulihat mobil bergerak kencang dari arah kanan. Aku terkejut. Segera kudorong tubuh Rio ke tepi jalan. Namun naas bagiku, aku yang tertabrak oleh mobil itu. Aku langsung tak sadarkan diri.
Begitu aku bangun, kudengar seseorang memanggil namaku. “ Nia, bangun.“ Aku tahu persis suara itu. Suara yang sudah lama tak kudengar, suara yang dulu selalu membuatku bahagia. “Nia.” ulangnya lagi. Sekarang aku benar-benar sadar. Benar, itu suara Rio. “ Nia, maaf ya, karena aku kamu jadi begini.” Kulihat bulir-bulir air mata mulai keluar dari matanya, mata yang gagah dan berani. Aku merasa ada yang aneh pada diriku, kakiku tidak bisa digerakkan lagi. “Kakiku, kenapa dengan kakiku?? Kenapa gak bisa bergerak?? Kenapaa ??!” Aku menjerit histeris setelah mengetahui kakiku lumpuh dan juga terluka parah akibat benturan yang sangat keras. Aku harus menerima sebuah kenyataan pahit lagi, akibat luka yang cukup parah dan benturan itu, aku harus mengamputasi kakiku. Aku semakin terpukul oleh kejadian ini. Tak pernah kusangka aku akan kehilangan kaki kananku. Tangisku langsung meledak saat itu juga. Aku terpukul, sangat terpukul.
Keesokan harinya jadwal operasiku akan berjalan. Aku mencoba tabah menghadapi semua ini. Dengan tenaga yang seadanya, aku berusaha untuk mengucapkan sesuatu kepada Rio. “Rio, aku masih menyayangimu, sangat menyayangimu. Tak dapat kupungkiri bahwa kau pernah menjadi bagian dari hidupku. Dan sampai aku bekata demikian pun, kamu masih tetap jadi bagian dari hidupku.” Nia berkata sambil tersenyum lembut. Ia juga meminta maaf kepada Nino dan Nino pun merelakan semuanya.
Satu jam, dua jam, operasi Nia tak kunjung selesai. Orang tua Nia mulai khawatir, begitu juga dengan Nino dan Rio. Saat itu juga lampu kamar operasi mati. Dokter keluar dengan keringat yang bercucuran di sekujur tubuhnya. “Bagaimana Dok ?” Tanya Papa Nia cemas. “ Maaf Pak, tapi kami sudah melakukan yang terbaik, kondisi anak bapak tiba-tiba drop saat melakukan operasi ini.” Tangis semua yang ada di sana langsung mengucur deras. Mereka kehilangan Nia, sosok gadis remaja yang ramah, sopan dan juga periang. Tak ada satupun kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya tangis yang menemani mereka malam itu.
Penguburan Nia pun berlangsung. Semua teman-teman sekolah Nia menangisi kepergiannya. Rio terus memeluk batu nisan Nia. Tangisnya masih terus mengalir. Ia merasa ini semua terjadi karena kesalahannya. Di pusara Nia, ia berdoa dan berkata, “Nia, sampai kapanpun kamu tetap bidadari hatiku, berbahagialah kau di sana.” Kata Rio sambil terus menangis. Mungkin Nia di sana juga akan berkata, “Rio, aku juga sangat menyayangimu, akan terus kupendam rasa ini dan akan menjadi rasa yang abadi.”
***

0 komentar on "Rasa yang Abadi"

Posting Komentar

 

Diahhh's Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos