Jumat, 09 November 2012

Sebening Cinta Embun

Diposting oleh Diah Novianti di 03.48

Gadis itu manis, putih dengan lesung pipit di pipinya. Embun. Aku suka memanggilnya dengan nama Embun. Titik-titik air yang jatuh dari langit pada malam hari di atas rerumputan hijau itu yang membuatku damai, sedamai hatiku jika bersamanya. Nama sebenarnya Chika, tapi entah mengapa aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan itu, ia juga tak pernah marah jika kupanggil demikian.
Sore itu aku melihatnya duduk sendirian di pinggir taman, aku lalu menghampirinya dan kami duduk bersama. “Embun, kenapa sendirian di sini?” tanyaku memulai pembicaraan. “Aku hanya ingin bersantai dengan suasana sore yang cerah ini. Kamu kenapa bisa di sini?” Embun balik bertanya. “Ah tidak apa-apa. Aku memang suka berjalan-jalan di sekitar taman ini.”jawab Rei. “Oh begitu.”jawabnya singkat. Sejenak kulihat wajahnya yang indah itu tak secerah biasanya, ada apa dengannya? Rasa ingi tahuku muncul, tak biasanya ia seperti ini. Namun, ia akhirnya berpamitan denganku dan beranjak pergi. Aku melihatnya sampai ia hilang di tikungan, kini tinggal aku sendiri duduk ditemani oleh angin semilir yang membelaiku.
Embun, gadis itu begitu periang, mengapa beberapa hari ini wajahnya tampak begitu murung? Aku tak tahu, aku sahabat Embun tapi ia tak pernah mau bercerita mengapa akhir-akhir ini dia bersikap seperti itu. Pagi itu seperti biasa aku selalu ke kelasnya, membawakan sekotak susu strawberry dengan lollipop kesukaannya. Ia menyambutku dengan gembira, aku sangat senang melihatnya.
“Embun, apakah kau suka aku bersikap seperti ini? Tapi mengapa akhir-akhir ini kau bersikap aneh? Ada yang salah denganku?” Tanyaku dengan sangat hati-hati. Embun menunduk, lama baginya untuk menjawab pertanyaanku, aku takut kalau-kalau pertanyaanku menyakiti hatinya.
“Tidak apa-apa Rei, kamu mau tahu sesuatu? Aku tak bisa merahasiakannya sendiri, kamu juga sahabatku.” Jawab Embun perlahan.
“Ada apa?” tanyaku lagi.
“Dua minggu lalu aku memeriksakan diri ke dokter karena sudah lama aku mengalami mimisan secara terus-terusan. Aku merasa sehat-sehat saja, tapi entah kenapa aku sering mimisan. Kata Dokter, aku menderita penyakit leukemia.” Jawab Embun sembari menangis.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi, hatiku seperti dihujam ribuan tombak ketika mendengar jawaban Embun. Aku hanya bisa memeluknya, memeluknya dengan segenap perasaan sayangku. Tanpa sadar air mataku menetes, Embun, sosok yang periang dan baik hati seperti itu mengapa harus mengalami penyakit seperti itu. Apakah ini adil Tuhan? Kuusap air mataku dan kuusap air mata Embun, aku hanya bisa memberinya semangat untuk tetap hidup. Embun yang dulu harus kembali lagi meskipun keadaan sudah merubah semuanya. Embun sangat pesimis akan hidupnya, aku juga pesimis karena yang kutahu penyakit leukemia tak ada obatnya. Obat yang diberikan hanya untuk mencegah penyakitnya menjadi-jadi, tak akan memperpanjang usia Embun. Diam-diam aku merasakan ketakutan yang luar biasa, aku takut kehilangan Embun di kemudian hari.
Dua minggu sudah aku tak melihat wajah Embun yang periang itu, senyum manis dengan lesung pipitnya itu tak kutemui lagi. Aku dengar Embun masuk rumah sakit, ia harus dirawat untuk beberapa hari karena penyakitnya itu. Sepulang sekolah aku menjenguknya ke rumah sakit. Aku melihatnya terbaring lemas tak berdaya. Sungguh, teramat sakit bagiku melihat keadaannya. Ia tersenyum kepadaku, aku membalas senyumnya.
“Rei, makasi ya udah mau datang menjengukku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semakin hari aku semakin lemah. Dokter juga mungkin sudah pesimis akan keadaanku.” Kata Embun tiba-tiba.
Aku merasa sedih, teramat sedih. Melihat perubahan fisik pada diri Embun juga membuat hatiku seperti teriris-iris. Aku mendekatinya lalu memeluknya.
“Rei, aku ingin menjadi embun seperti nama yang sering kau panggil kepadaku. Embun yang bening dan menyimpan sejuta kesucian. Bagaimana menurutmu?” Tanya Embun.
“Aku juga menyukai Embun. Sangat menyukainya.” Jawabku. Aku tak pernah bilang apa-apa kepadanya tentang perasaanku. Saat ini aku hanya ingin menjadi sahabat yang terbaik baginya.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, Embun tertidur lelap dan aku pulang ke rumah.
Beberapa bulan kemudian aku menerima sepucuk surat berwarna hijau di meja belajarku. Aku tak pernah tahu kalau ada surat di sana. Kubuka surat itu perlahan dan ternyata dari Embun. Aku menangis membacanya. Mengapa selama ini ia pergi diam-diam hanya untuk menjauhiku? Ia tak ingin mengucapkan selamat tinggal kepadaku agar ia tak menyakiti peasaanku nantinya.
Embun, kamu tau, pertama aku kenal kamu, kamu telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kamu akan tetap menjadi Embun yang selalu buatku tersenyum.”
Kini ketika aku berjalan pada sore hari di taman itu, tak pernah kulihat lagi Embun duduk di sana. Taman yang penuh kenangan ini tak pernah mati, seperti Embun yang takkan pernah mati.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumat, 09 November 2012

Sebening Cinta Embun

Diposting oleh Diah Novianti di 03.48

Gadis itu manis, putih dengan lesung pipit di pipinya. Embun. Aku suka memanggilnya dengan nama Embun. Titik-titik air yang jatuh dari langit pada malam hari di atas rerumputan hijau itu yang membuatku damai, sedamai hatiku jika bersamanya. Nama sebenarnya Chika, tapi entah mengapa aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan itu, ia juga tak pernah marah jika kupanggil demikian.
Sore itu aku melihatnya duduk sendirian di pinggir taman, aku lalu menghampirinya dan kami duduk bersama. “Embun, kenapa sendirian di sini?” tanyaku memulai pembicaraan. “Aku hanya ingin bersantai dengan suasana sore yang cerah ini. Kamu kenapa bisa di sini?” Embun balik bertanya. “Ah tidak apa-apa. Aku memang suka berjalan-jalan di sekitar taman ini.”jawab Rei. “Oh begitu.”jawabnya singkat. Sejenak kulihat wajahnya yang indah itu tak secerah biasanya, ada apa dengannya? Rasa ingi tahuku muncul, tak biasanya ia seperti ini. Namun, ia akhirnya berpamitan denganku dan beranjak pergi. Aku melihatnya sampai ia hilang di tikungan, kini tinggal aku sendiri duduk ditemani oleh angin semilir yang membelaiku.
Embun, gadis itu begitu periang, mengapa beberapa hari ini wajahnya tampak begitu murung? Aku tak tahu, aku sahabat Embun tapi ia tak pernah mau bercerita mengapa akhir-akhir ini dia bersikap seperti itu. Pagi itu seperti biasa aku selalu ke kelasnya, membawakan sekotak susu strawberry dengan lollipop kesukaannya. Ia menyambutku dengan gembira, aku sangat senang melihatnya.
“Embun, apakah kau suka aku bersikap seperti ini? Tapi mengapa akhir-akhir ini kau bersikap aneh? Ada yang salah denganku?” Tanyaku dengan sangat hati-hati. Embun menunduk, lama baginya untuk menjawab pertanyaanku, aku takut kalau-kalau pertanyaanku menyakiti hatinya.
“Tidak apa-apa Rei, kamu mau tahu sesuatu? Aku tak bisa merahasiakannya sendiri, kamu juga sahabatku.” Jawab Embun perlahan.
“Ada apa?” tanyaku lagi.
“Dua minggu lalu aku memeriksakan diri ke dokter karena sudah lama aku mengalami mimisan secara terus-terusan. Aku merasa sehat-sehat saja, tapi entah kenapa aku sering mimisan. Kata Dokter, aku menderita penyakit leukemia.” Jawab Embun sembari menangis.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi, hatiku seperti dihujam ribuan tombak ketika mendengar jawaban Embun. Aku hanya bisa memeluknya, memeluknya dengan segenap perasaan sayangku. Tanpa sadar air mataku menetes, Embun, sosok yang periang dan baik hati seperti itu mengapa harus mengalami penyakit seperti itu. Apakah ini adil Tuhan? Kuusap air mataku dan kuusap air mata Embun, aku hanya bisa memberinya semangat untuk tetap hidup. Embun yang dulu harus kembali lagi meskipun keadaan sudah merubah semuanya. Embun sangat pesimis akan hidupnya, aku juga pesimis karena yang kutahu penyakit leukemia tak ada obatnya. Obat yang diberikan hanya untuk mencegah penyakitnya menjadi-jadi, tak akan memperpanjang usia Embun. Diam-diam aku merasakan ketakutan yang luar biasa, aku takut kehilangan Embun di kemudian hari.
Dua minggu sudah aku tak melihat wajah Embun yang periang itu, senyum manis dengan lesung pipitnya itu tak kutemui lagi. Aku dengar Embun masuk rumah sakit, ia harus dirawat untuk beberapa hari karena penyakitnya itu. Sepulang sekolah aku menjenguknya ke rumah sakit. Aku melihatnya terbaring lemas tak berdaya. Sungguh, teramat sakit bagiku melihat keadaannya. Ia tersenyum kepadaku, aku membalas senyumnya.
“Rei, makasi ya udah mau datang menjengukku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semakin hari aku semakin lemah. Dokter juga mungkin sudah pesimis akan keadaanku.” Kata Embun tiba-tiba.
Aku merasa sedih, teramat sedih. Melihat perubahan fisik pada diri Embun juga membuat hatiku seperti teriris-iris. Aku mendekatinya lalu memeluknya.
“Rei, aku ingin menjadi embun seperti nama yang sering kau panggil kepadaku. Embun yang bening dan menyimpan sejuta kesucian. Bagaimana menurutmu?” Tanya Embun.
“Aku juga menyukai Embun. Sangat menyukainya.” Jawabku. Aku tak pernah bilang apa-apa kepadanya tentang perasaanku. Saat ini aku hanya ingin menjadi sahabat yang terbaik baginya.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, Embun tertidur lelap dan aku pulang ke rumah.
Beberapa bulan kemudian aku menerima sepucuk surat berwarna hijau di meja belajarku. Aku tak pernah tahu kalau ada surat di sana. Kubuka surat itu perlahan dan ternyata dari Embun. Aku menangis membacanya. Mengapa selama ini ia pergi diam-diam hanya untuk menjauhiku? Ia tak ingin mengucapkan selamat tinggal kepadaku agar ia tak menyakiti peasaanku nantinya.
Embun, kamu tau, pertama aku kenal kamu, kamu telah menjadi embun dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kamu akan tetap menjadi Embun yang selalu buatku tersenyum.”
Kini ketika aku berjalan pada sore hari di taman itu, tak pernah kulihat lagi Embun duduk di sana. Taman yang penuh kenangan ini tak pernah mati, seperti Embun yang takkan pernah mati.

0 komentar on "Sebening Cinta Embun"

Posting Komentar

 

Diahhh's Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos